Pagi-pagi sekali kami
telah bersiap, saya bersemangat sekali, tak sabar ingin melunaskan rasa
penasaran itu. Dendangan himne guru dan himne fkm menemani perjalanan menyusuri
Dusun Bacu-bacu. Ntah kenapa saya menyanyikan lagu itu disepanjang perjalanan.
Mendaki dan menurun, kanan kiri lahan pertanian warga, lahan pertanian dengan
topografi pegunungan, beraneka ragam sekali isinya. Menyebalkan sekali
sebenarnya saat ingin menikmati pemandangan tapi tak bisa karena harus fokus
dengan jalan tanjakan atau turunan berkelok. Ahhh!
Kami tiba di SD bujung
awo, tapi sayang sekali, kepala sekolahnya tak sedang di sana, kami malah
bertemu seorang pengawas yang sedang supervisi di sekolah ini. Pengawas ini
malah berharap kami memberikan bantuan fisik, banyak sekali maunya dan kami
hanya mendenar saja haha. Mungkin seperti ini gambaran kebanyakan orang, jika
ada orang baru, orientasinya diberi bantuan fisik.
Tak berlama-lama
disekolah, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan yeey, finally kami
sampai diujung jalan Dusun Bacu-bacu. Terlihat sekelompok ibu-ibu separuh baya
sedang sibuk dengan lesung dan alu ditangan mereka. Sedang menumbuk apa? Kami
mendekat, jadilah ibu-ibu ini menjadi sasaran FGD pertama kami. Assalamu’alaykum,
aga ta jama bu?. Pertanyaan demi pertanyaan kami lontarkan untuk menggali
sebanyak-banyaknya informasi. Ada sedikit kendala, ada salah seorang ibu itu
yang tidak bisa berbahasa Indonesia, mau tak mau kemampuan bahasa bugis yang
sedikitku ini, dipaksa untuk keluar saat itu juga. Alhamdulillah, FGD sama
ibu-ibu selesai. Perhatian kami beralih pada seorang bapak yang sedang mengasah
pisau dan bapak yang sedang jongkok, merokok. Aktivitas yang mungkin jarang
terlihat, bapak-bapak yang berada di rumah pagi-pagi, tidak ke kebun. Usut
punya usut, ternyata memang lahan pertanian yang biasa digunakan petani disini
untuk menanam, ditutup karena merupakan kawasan hutan lindung, jadi beberapa
tahun terakhir, petani tak lagi memasuki area itu untuk bercocok tanam.
Saat asyik berdiskusi
dengan bapak-bapak tadi, mata saya tertuju pada tangan bapak yang sedang
mengasah pisau. Ternyata beliau adalah penderita kusta, jari-jari tangannya,
lepas sedikit demi sedikit katanya. Cerita bapak seputar penyakit dan dampak
dari penyakitnya mengalir bak air, saya tertegun. Kak Ratna dan Kak Ravi
mengagetkan saya, saatnya kami beranjak dan melanjutkan perjalanan. Perjalanan
menuju sebuah sungai, jernih, walau tak begitu deras, saya suka suara aliran
airnya, suasana tenang menngiringi diskusi dengan beberapa orang gadis yang
sedang mencuci.
Perjalanan tak berakhir di Dusun Bacu-bacu,
kamipun melanjutkan perjalanan keujung sisi kanan Desa Lalabata, kami menuju
Dusun Matajang, Kampung Pacore. Dan waw! Perjalanannya lebih menantang
dibanding jalan kebacu-bacu. Saya suka, saya sukaa. Mood meningkat drastis,
diskusi dengan warga jadi makin menyenangkan.
The best day ever selama
lima hari disini hahaha~
Komentar
Posting Komentar