Berawal dari sini,
Cerita kami dimulai hari
ini, 7 November 2016. Tiga orang anak muda menuju sebuah desa yang terletak di Kab
Barru, sebut saja Desa Lalabata. Saat memasuki wilayah Desa Lalabata, ada
perasaan yang tak terjelaskan, antara senang dan resah, yah desa inilah yang
akan menjadi labuhan kami selama kurang lebih 365 hari kedepan. Ntah cerita apa
yang akan tertorehkan dalam lembaran cerita ini. Yang saya tahu, cerita ini
berawal dengan “menunggu”, menunggu siapa? Menunggu supervisor dan (atau) pak
desa. Menunggu dimana? Diaula desa yang diberi nama “Baruga Sayang” haha. Nama
yang cukup membuat kami menunggu diiringi gelak tawa. Jadilah kami tiga orang
lebay, di desa yang lebay yang kami juluki “Lebaybata”.
Tak salahlah julukan itu,
saat sang supervisor kami datang, kami bertemu dengan pak Ma’ruf, PLT Desa
Lalabata, beliau sedang ditemani oleh polisi jajaran Polres Barru yang
mendampingi penanaman jagung didesa tersebut, kami diajak berfoto berkali-kali,
dan jadilah kami sekelompok orang yang “gifo” alias gila foto. Hahaha
Setelah “acara foto-foto”
dan penyambutan dari PLT desa, kami menyusuri jalan yang dikanan dan kirinya adalah
lahan tempat hidup berbagai vegetasi, dengan topografi pegunungan (tanah
miring) menuju rumah Kepala Dusun Matajang, yang disarankan PakDe, untuk
menjadi tempat tinggal kami, setidaknya sebagai tempat tinggal sementara,
sampai kami menemukan tempat tinggal tetap selama setahun. Kami berdiskusi
lumayan panjang dengan bapak dan ibu Dusun Matajang terkait tempat tinggal
kami. Awalnya mereka seakan berat sekali jika kami ingin tinggal di rumah
mereka selama setahun, namun ekpresi penolakan itu seakan berubah drastis saat
membahas teknis pembayaran, dan saya agak risih dengan sikap seperti itu. Tapi
baiklah, mereka masih diberi waktu untuk berdiskusi. Kami hanya menyimpan
barang persiapan “setahun” di rumah tersebut, lalu bergegas mencari pengisi
perut sembari bapak dan ibu dusun mempertimbangkan keberadaan kami dirumah
mereka.
Perjalan sekitar 3 km menuju
tempat makan kami isi dengan diskusi kecil yang berujung pada keputusan untuk
menemani supervisor kami, Kak Opik, menjalankan tugas, mengunjungi Desa
Palakka, desa yang satu kabupaten dengan kami, mengingat kami masih kurang
nyaman untuk kembali ke rumah pak dusun. Di Desa Palakka, saya merasakan
sambutan yang benar-benar berbeda dengan yang saya rasakan di rumah pak dusun
tadi. Keluarga pak dusun di desa tersebut betul-betul memperlakukan kami
layaknya keluarga. Ahhh, berbagai kekhawatiran muncul hanya dengan
membandingkan perbedaan sambutan tersebut.
Kepulangan kembali ke
desa yang akan menjadi desa kami selama setahun kedepan masih menyisakan
kekhawatiran. Malam ini kami tidur di rumah pak dusun, besok ntah kami tidur
dimana, belum ada kepastian, kami tidur dalam keresahan.
Komentar
Posting Komentar