Teruntuk engkau calon imamku
Melalui surat ini aku ingin
kisahkan, keluh yang sedang kurasakan. Gunda yang tengah mengganjal hati. Dan risau
yang kerap menghampiri. Tenang saja, aku tak akan minta surat balasan, karena
aku sendiri tidak tahu mau menyampaikan surat untukmu ini kemana. Aku hanya
ingin menuliskannya saja. Izinkan aku menumpahkannya melalui tulisan ini, biar
Rabbku yang menyampaikannya padamu.
Bismillahirahmanirrahim...
Assalamu’alaykum warahmatullahi
wabarakatuh
Engkau yang namanya disandingkan
dengan namaku di Lauh Mahfuz. Siapapun engkau, aku percaya engkaulah jodoh terbaik yang telah
dipilihkanNya untukku. Perkenalkan, namaku Fitriani Sukardi, Aku adalah anak sulung dari
seorang ibu hebat bernama Sarifah dan ayah yang amat penyayang yang kasih
sayangnya hanya kurasakan sampai usia enam tahun. Tumbuh sebagai seorang anak
yatim membuatku tergembleng menjadi sosok kuat pada kondisi tertentu, namun
juga rapuh pada kondisi tertentu. Kuharap engkau mengerti itu. Oh iya, kali ini
aku akan bercerita banyak tentang keluarga kecilku terutama sosok paling penting
dalam hidupku, tempat baktiku, sebelum kelak bakti utama itu pindah di dirimu,
ibuku.
Sejak kecil aku dihadapkan pada
kondisi dimana aku harus menjadi penguat bagi ibu, yang selalu ada mem back up
beliau, pada kondisi apapun karena aku adalah anak tertua dari tiga orang
bersaudara. Kondisi Ibu yang saat itu tidak memiliki pekerjaan tetap, menafkahi
keluarga sendirian dari hasil warung kelontong yang kemudian harus gulung tikar
lantaran kekurangan modal dan ibu akhirnya memilih menjadi tukang ojek untuk perempuan dan
anak-anak sekolah. Proses demi proses membuat saya harus dewasa dini, memberikan
pengertian kepada adik-adikku agar bisa hidup sederhana. Mungkin itu juga yang
membuatku kadang keras terhadap adik-adikku. Mengahadapi masa-masa itu sangat
tidak mudah. Rasa rendah diri kerap kali muncul. Menjadi seorang yatim adalah
sesuatu yang membuatku terlihat begitu kasihan, setidaknya begitu menurutku
cara orang memandangku, karena bisa dibilang dalam kelas hanya aku yang
menyandang gelar itu. Terlebih pekerjaan ibu yang begitu aneh dimata
orang-orang. Mungkin beliau adalah tukang ojek perempuan pertama dilingkungan
kami, ntah diluar sana, bisa jadi beliau masuk lima besar pertama. Kedekatan
emosional denganNya adalah kekuatan terbesarku untuk selalu mensyukuri apa yang
kami miliki saat itu. Aku bersyukur, ditengah rasa “kasihan” yang ditimpakan padaku,
mereka mengaku iri karena aku selalu jadi murid kesayangan guru lantaran bisa
dikatakan siswa berprestasi. Masa sulit yang berhasil aku lalui itu memang
tidak terlepas dari dukungan guruku di sekolah dasar.
Masa kecil yang cukup rumit
bukan? Masa kecilmu bagaimana? Ceritakan juga padaku kelak.
Hmmm aku lanjutkan. Kekuatan Ibu
untuk tetap bertahan menjadi singel parent semakin bertambah melihat kami bisa
sangat mengerti kondisi beliau dengan terus mendukung dan tidak menyusahkan
beliau. Ibu kami sangat mengapresiasi hal tersebut dengan terus memberikan yang
terbaik untuk pendidikan kami. Tidak tanggung-tanggung kami disekolahkan pada
sekolah dengan predikat sekolah unggulan. Yang pengorbanannya lebih besar,
hanya untuk mendapat hasil yang lebih maksimal.
Tanpa aku sadari ternyata
kehidupan kami banyak menginspirasi orang-orang disekitar kami. Banyak tetangga
yang bertekad meyekolahkan anaknya walau dengan keterbatasan ekonomi, karena
ibuku saja yang seorag diri bisa, masa iya mereka tidak bisa. Bahkan, aku tidak
menyangka, sekitar tahun 2006, ibuku mendapat penghargaan menjadi 1 dari 8
orang “inspiring women” oleh Partai Keadilan Sejahtera Sulsel. Itu merupakan
pengakuan publik. Walau jauh sebelum itu, dan sampai kini, bagiku ibuku memang
seorang perempuan yang sangat menginspiasi. Hebatkan beliau? Semoga aku juga
kelak bisa menjadi perempuan hebat yang mendampingimu dalam kondisi apapun.
Tidak hanya dari segi pendidikan
formal. Keluarga dan tetangga sering memuji beliau karena dapat mendidik kami
dalam nuansa islami. Beliau memang sangat keras dalam urusan sholat 5 waktu dan
puasa ramadhan. Sejak kecil kami sudah di “paksa” melakukan kewajiban tersebut.
Saat teman-teman sepermainanku, masih belajar puasa dengan puasa setengah hari,
kami sudah di biasakan puasa full. Saat teman-temanku bangga karena telah bisa
puasa full beberapa hari, kami sudah hampir bisa puasa full sebulan penuh. Saat
teman-temanku baru diberitahu bahwa ada kewajiban sholat, kami sudah diawasi
untuk mengerjakan sholat. Ibu keras, tak segan-segan memukul kalau dalam urusan
satu ini, walau alhamdulillah aku tidak pernah kena pukul karena kewajiban itu.
Ntah kenapa, sejak diajarkan untuk sholat, sholatlah yang menjadi penguatku,
dan aku sendiri yang merasa risih jika terkadang hampir lupa melaksanakannya.
Kami juga dibiasakan untuk hidup
saling mendukung dan menguatkan satu sama lain. Termasuk membantu ibu mencari
nafkah, walau belum maksimal. Sampai pada akhirnya beberapa tahun terakhir
beliau kembali menjadi pedagang, pekerjaan yang juga dilakoni Rasulullah dahulu.
Yang membuat kondisi ekonomi jauh lebih baik. Bisa dibilang kami telah melewati
masa sulit itu. Dalam proses itu kami berusaha juga maksimal dalam menunjukkan
prestasi belajar untuk mendapatkan beasiswa agar tetap bisa melanjutkan
pendidikan dan membuat ibu bangga tentunya. Sampai akhirnya aku bisa
menyelesaikan study sebagai Sarjana Kesehatan Masyarakat, adik perempuankupun
tengah mengambil S1 teknik kimia Universitas Muslim Indonesia setelah
menyelesaikan pendidikan diploma tiga jurusan teknik kimia Politeknik Negeri
Ujung Pandang dan adik laki-laki sedang menempuh pendidikan pelayaran jurusan
Nautika di BP2IP Barombong Makassar.
Kondisi hidup tersebut
mengajarkanku untuk mengusahakan sesuatu semaksimal mungkin, seterbatas apapun
kondisiku, mensyukuri setiap apa yang diperoleh, membagi waktu dengan baik dan
menempatkan diri pada tempatnya sebagai kunci untuk mewujudkan apa yang diinginkan.
Bagaimana reaksimu setelah aku
menceritakan kehidupanku yang seperti itu?
Sekarang usiaku 24 tahun 3 bulan.
Sekarang aku bukan lagi gadis kecil yang menangis dihari berpulangnya ayahnya,
bukan karena sedih tapi lantaran orang-orang disekitarnya semua menangis. Bukan
karena tidak sayang pada ayahnya, tapi karena memang dia belum mengerti bahwa
pada hari itu ayahnya pergi untuk selama-lamanya.
Hari ini gadis itu menulis surat
untukmu, calon imam masa depannya. Kini ia tengah risau dalam penantian, walau
tetap sabar karena ia tahu bahwa Dia telah mengatur semuanya. Izinkan dia
melanjutkan suratnya.
Untukmu sang pemilik tulang
rusukku. Aku pecaya kau akan datang diwaktu yang paling tepat. Dan in syaa
Allah aku akan bersabar sampai saat itu tiba. Hanya bersabar? Tentu tidak,
tenang saja, dalam penantian itu aku tidak hanya sekedar bersabar, tapi aku
juga akan memantaskan diriku agar layak mendampingimu. Tidak sekedar layak tapi
benar-benar bisa menjadi perhiasan terhindahmu, “Perhiasan terindah adalah
istri sholehah”, dan juga menjadi madrasah pertama terbaik untuk generasi
penerus kita kelas, In syaa Allah.
Wahai calon imamku, dimanapun
engkau berada, aku percaya engkau dalam proses mempersiapkan diri menjadi imam
terbaik untukku. Tetap semangat yah, aku tahu tidak mudah. Tapi in syaa Allah
kamu bisa. Aku selalu berdoa agar kelak engkau benar-benar bisa menjadi imam
yang akan membimbing dan membersamaiku menuju jannahNya.
Wahai penggenap agamaku, tahukah
engkau bagaimana aku memaknai sebuah pernikahan? Boleh aku bercerita sedikit
bagaimana aku mengagungkan maghligai suci itu? Pernikahan adalah ikatan mulia
yang diatur dengan begitu sempurna untuk menyatukan dua insan yang saling
mencinta oleh Sang Maha Cinta. Ikatan yang jika diniatkan karenaNya akan
menjadi ibadah terpanjang yang tiap detiknya dihitung sebagai pahala disisiNya.
Ikatan itulah yang akan kita jalani kelak, in syaa Allah. Kita sama-sama
niatkan pernikahan itu karena Dia yah.
Sebelumnya, aku mohon maaf karena
aku bukan sosok perempuan yang sempurna. Aku hanyalah perempuan akhir zaman dengan
serentetan kekurangan. Sederatan kesalahan dimasa lalu yang kelam. Tapi
percayalah, aku akan terus berusaha membenahi diri, memperbaiki akhlak,
untukNya, untukmu, untuk keluarga kita kelak, untuk dunia dan akhirat kita. Aku betul-betul ingin menjadi pendamping terbaik untukmu, memaksimalkan baktiku padamu, dan dapat menjadi "rumah" terbaik untukmu. Sesuai sabda Nabi Muhammad SAW ciri istri yang sholehah adalah: "Apabila diperintah ia taat, apabila dipandang menyenangkan hati suaminya, dan apabila suaminya tidak ada dirumah, ia menjaga diri dan harta suaminya.” (HR.Ahmad dan An-Nasa’i, di Hasan-kan oleh Albani dalam Irwa’ no.1786)
Aku juga tidak menuntut kamu
menjadi sosok yang sempurna. Aku hanya berharap engkau adalah seorang pribadi
pembelajar. Kenapa harus pribadi pembelajar? Karena menurutku, seseorang yang
memiliki semangat belajar yang tinggi akan senantiasa berusaha untuk belajar
dan terus belajar, sedang belajar adalah pintu untuk terus memperbaiki diri. Aku berharap demikian karena saya butuh sosok imam yang demikian. Aku sangat
ingin dibimbing dan dibersamai oleh sosok seperti itu.
Aku berharap kelak kita bisa
sama-sama terus belajar, penuh semangat menghadiri majelis-majelis ilmu,
mengisi hari-hari kita dengan diskusi-diskusi mengenai apa yang telah kita
baca, membangun keluarga yang demokratis yang bernafaskan islam, menjadikan
istana kecil kita sebagai madrasah ilmu untuk kita dan anak-anak kita. Semoga
harapan itu tidak berlebihan.
Sebenarnya masih banyak yang
ingin aku ceritakan padamu. Tapi sepertinya akan lebih menyenangkan kalau kamu
mendengarnya langsung nanti. Ada beribu-ribu hari yang kelak akan kita lewati
dengan saling bercerita. Semoga engkau tidak bosan.
Setelah aku menceritakan semuanya
kepadamu, semoga kau semakin yakin akan pilihanNya. Aku percaya, apa yang
terjadi padaku yang menjadikanku pribadi seperti sekarang ini, tak terlepas
dari rencanaNya menyiapkanku dalam mendampingimu. Begitupun dengan keidupanmu
yang telah disiapkan untuk membersamaiku. Walau ntah, bahtera seperti apa yang
akan kita arungi kelak. Yang aku tahu, tidak ada yang kebetulan, semua sudah
tertulis dengan indah dalam skenarioNya.
Akhir kata, izinkan aku
mengutarakan isi hatiku.
Wahai calon imamku, walau aku tidak
tahu siapa engkau, tapi demi taqwaku padaNya, insyaAllah aku akan mencintaimu
karenaNya.
Maukah kamu mencintai Allah, bersamaku?
Semoga engkau selalu dalam
lindungan dan keberkahanNya. Selamat mempersiapkan sakinah mawaddah dan
warrahmahnya keluarga kita.
“karena berkah itu mahal. Semoga kita
bisa sama-sama menjaga diri sampai di pertemukan dalam ikatan penuh berkah”
aamiin aamiin aamiin yaa
rabbal’alamin
Yang
mencintaimu karena Allah, jodohmu
Fitriani Sukardi
Komentar
Posting Komentar