Bismillahirrohmanirrohim
Rasanya sudah sejak 22 hari yang lalu ingin menuliskan ini, saat 3 hari usia pernikahan kita, tapi baru sekarang jemari ini bisa menekan toots hp untuk menuangkan rasa yang tak terjelaskan ini.
Pertama sekali, saya ingin berterima kasih kepadaNya, padaNya sang pemilik hati, jiwa dan raga ini, juga pemilik hati, jiwa dan ragamu. Dia Yang Maha Baik pada hambaNya, padaku. Dan kau adalah salah satu bukti terbesar baikNya Dia padaku.
Flashback “pertemuan pertama” kita sekitar september 2016? Yah, anggap saja itu pertemuan pertama. Pertemuan yang seperti angin lalu, tidak ada perkenalan sama sekali, hanya ada dialog yang saya sendiri tidak begitu ingat. Tapi lumayan berkesan. Itu bagiku, ntah bagimu.
Lalu pertemuan selanjutnya, pertemuan yang lebih berkesan. Induksi awal sarjana pendamping Desa Bangkit Sejahtera (DBS) yayasan hadji kalla. Hari itu hari pertama kekantor sebagai karyawan YHK, tapi saya memulai hari dengan sangat tidak percaya diri. Bayangkan saja warna baju, jilbab dan sepatu tidak nyambung sama sekali hahah maklumlah kalau pakai baju seadanya yang kebetulan dibawa ke rs, karena tidak sempat lagi pulang kerumah dulu. Hari itu sama sekali tidak tertarik memperhatikan orang-orang lantaran ketidakpedean penampilan hari itu. Sampai pada waktu nama kita di sebut satu persatu, saya cekikikan berdua sama kak Uni saat mendengar satu nama “Muh Rivai Lagu”, lucu aja namanya. “pintar kapang menyanyi itu. Hahaha” celetuk kami. Dan sekilas menoleh kepada sang empunya nama lucu itu.
Singkat cerita kami pelatihan di camba selama sepekan, dan si pemilik nama lucu itu lagi-lagi selalu menarik perhatian. Dia sering sekali jadi topik pembicaraan. Walau saat itu sepertinya belum begitu menarik perhatian seorang Fitriani Sukardi.
Sampai hampir sebulan di desa penempatan, dia mulai gencar melakukan aksi, aksi pendekatan ke srikandi-srikandi DBS hahaha (red: gencar cari pacar). Dan sepertinya saya menjadi salah satu korban keisengannya. Dia itu “kocak”, berhadapan sama orang kayak saya yang meladeni kekocakan itu. Semua pembahasan jadi saya anggap bercandaan. Dan sampai menjurus kemodus “mencari pacar” tadi.
Mungkin karena tau saya tidak ingin pacaran dan memang masih trauma berkomitmen sama orang.Jadilah modus mencari pacar yang kadang di serius-seriuskan seperti mencari pasangan halal. Ntahlah, tapi saya merasa seperti itu. “Labattua salla riballata angngerang kana baji... Punna ero jaki” baru saja melontarkan kata seperti itu, mulai lagi bercanda seakan menyangkal apa yang baru saja dia katakan. Begitu seterusnya dan komunikasi “aneh” itu berlangsung kira-kira 2 atau 3 bulanan. Sampai saya betul-betul membatasinya karena takut terbawa perasaan. Apa jadinya kalau saya terbawa perasaan dam ternyata dia hanya bercanda?
Berbulan-bulan lost contact dan kemudian komunikasi yang dia ada-adakan, yang jika saya ingat-ingat, setidaknya dia menghubungi sekali sebulan. Sampai saat kontrak kerja berakhir dan aturan tidak boleh menikah itu berakhir, tepatnya sekitar pertengahan november. Pesan yang bikin jantung berdetak diluar kebiasaannya masuk melalui akun WA. “Assalamualaikum
Fitri,...kan kontrak sudah selesai ini, jadi sy fikir bukanmi lagi waktunya basa basi ...
Saya mau bahasanya lebih Seeerius ttg niatanku kemarin.. Kasihka jalan untuk temuiki,.spya bisaka bicarakan, ...
Ataukah saya langsung temui mama,...kasihka petunjukta...Keluarga di rumah juga sudah tahu, sy sudah menceritakan ttg kita, dan mintaki ketemu sama kita. “🙏
Fitri,...kan kontrak sudah selesai ini, jadi sy fikir bukanmi lagi waktunya basa basi ...
Saya mau bahasanya lebih Seeerius ttg niatanku kemarin.. Kasihka jalan untuk temuiki,.spya bisaka bicarakan, ...
Ataukah saya langsung temui mama,...kasihka petunjukta...Keluarga di rumah juga sudah tahu, sy sudah menceritakan ttg kita, dan mintaki ketemu sama kita. “🙏
“Jadi, selama ini pembahasannya itu serius, tidak bercanda?” pikirku. Ahhh saya bingung. Bukannya tidak ingin menanggapi keseriusan itu, tapi rasa itu sudah saya kubur dalam-dalam dan membuka kesempatan serius untuk orang lain karena saya pikir dia bercanda.
Beberapa hari pembahasan alot mengenai keseriusannya. Dia menyimpulkan dan akhirnya menyerah. Mungkin setelah itu saya menjadi amat dibencinya. Belakang saya baru tahu kalau saat itu dia memblokir saya di berbagai media sosial kecuali WA. hahaha. Hmmm Maafkan.
Setelah menyerahnya dia, saya jadi banyak merenung. Salahkah keputusan saya melepaskannya? Ntah kenapa rasa tak terjelaskan itu kerap muncul, antara rasa bersalah dan kecewa dia menyerah. Loh kenapa? Ntahlah. Proses perenungan masih terus saya lakukan sambil terus berdoa diberi petunjuk dan keputusan yang terbaik. Sampai awal januari, saya memutuskan untuk mempertegas keseriusan orang yang telah saya beri kesempatan. Dan saya tiba pada keputusan untuk tidak lagi menunggunya. Setelahnya apa yang rasakan? Kelegaan yang luar biasa. Seakan beban yang ada dipundak tumpah ruah berceceran tak tersisa. Alhamdulillah. InsyaaAllah keputusan yang benar.
Sebulan lebih setelah itu, tepatnya 14 februari. Pesan tak terduga itu hadir kembali. “Tanyakan pada saya apa persayaratan khitbahmu?
Dgn izin Allah saya akan menyampaikan ke keluarga saya perihal ini jika fitri memeberi jalan…”
“Fit saya betul2 sudah mau berkeluarga,..
Tolong ringankan niatanku. 🙏
Tolong ringankan niatanku. 🙏
Saya sudah memintamu berkali kali ke tuhan, dan rasanya tadi pas habis magrib bergetarka, kita yg kulihat jelas…”
Ntah getaran dari mana, tapi hati ini ikut bergetar membaca pesan itu. Air bening di sudut mata mendesak ingin tumpah.
“Tentu untuk meyakinkan dirita ada yg disebut pacaran tp ini kita sama2 pahami bahwa hal yg dilarang.. Hal lain yg bisa dilakukan adalah taaruf, saling mengenalkan keluarga, yg kedua adalah meminta pendapat dari org tua, dan orang alim semisal ada temandta yg paham ttg agama ataukah guru ngajita.”
“Proses inilah yg saya mau fitri, saya mau kasih kenal keluargaku ke kita..
Saya sudah beberapakali menyampaikannya.
Niatanku sangatlah besar untuk menjadikanmu pendamping hidup saya tp sya juga sadar betul bahwa saya tidak punya hak memaksakan kehendakku..”
Saya sudah beberapakali menyampaikannya.
Niatanku sangatlah besar untuk menjadikanmu pendamping hidup saya tp sya juga sadar betul bahwa saya tidak punya hak memaksakan kehendakku..”
“Perkenalan keluarga, saya memahaminya sebagai proses, dan tidak mutlak haruski bersama saya jika memang stelah proses itu kita lewati dan tetapki menolak.”
Getaran itu makin menjadi. Yaa Allah, apa ini? Sepertiga malam, dini hari itu terasa amat panjang, tak habis menumpahkan kegundahan dihati. Dan akhirnya saya memberinya kesempatan. Empat hari kemudian, dia datang jauh-jauh bersama kedua orang tua dan adiknya untuk proses ta’aruf. Ternyata dia benar-benar serius. Pembahasan makin panjang tapi saya hanya bisa diam tertegun, hanya menjawab seadanya ketika ditanya. Saya sedih sekali mendengar cerita bahwa niatannya november waktu itu didorong kuat oleh kakeknya yang ingin sekali melihat cucu pertamanya menikah, tapi karena penolakanku waktu itu, keinginan itu hanya jadi impian semata karena ia menolak dijodohkan dan tidak merasa cocok dengan beberapa orang yang coba dia dekati setelah penolakanku. Hatinya masih tertambat pada satu hati yang seyogyanya telah melukainya. Sampai kakeknya meninggal dunia pada akhir Desember, dikubur dengan harapan yang tak terwujud. Yaa Rabb, apa yang telah saya lakukan? Sebesar itukah efek penolakan itu? Sebanyak itukah hati yang terluka. Hatinya, dan hati keluarga besarnya lantaran melihat sang kakek meninggal dengan harapan yang belum sempat dipenuhi.
Berbagai kekhawatiranku yang menjadi alasanku mengubur dalam-dalam rasa itu setahun silam menjadi fokus pembahasan. Dia dan keluarganya berusaha meyakinkan. Sampai kamipun diminta untuk bersilaturahmi ke rumahnya di Jeneponto.
“Saya tunggu di’ nak, kapanki mau naik?” tanya sang ibu
“nanti saya kabari aji” jawabku tertunduk.
Sepulang mereka dari rumah, pembahasan panjang lagi mengenai ajakan mereka silaturahmi ke Jeneponto untuk proses ta’aruf lebih lanjut. Saya bingung, dan belum bisa menjawab pertanyaan itu. Keluarga menyerahkan keputusan sepenuhnya pada saya. Intinya keluarga suka dengan keluarganya dan sudah setuju dengan niatan baik itu, tapi alangkah lebih baiknya memang jika ada silaturahmi balasan untuk lebih menguatkan.
Pergejolakan hati makin menjadi. Beberapa hari itu, ntah berapa banyak air mata yang menetes disudut malam. HambaMu ini betul-betul butuh petunjuk, Tuhan. Sampai hari ketiga, saya seakan mendapat keyakinan yang perlahan mengalir dalam hati namun begitu kuat efeknya. Dan dua malam selanjutnya, tangis makin menjadi, tangis khawatir dan rasa bersalah berubah menjadi tangis bahagia lantaran sepertinya saya sudah mendapatkan jawaban dari istikharah panjang setahun terakhir. Dan terasa lebih panjang lagi di beberapa hari terakhir ini. Oke. Saya bulat melanjutkan proses ta’aruf ini dengan silaturahmi ke rumahnya. Tiga jam perjalanan, perjalanan yang lumayan bikin saya sedikit ciut (takut mabok perjalanan).
Dua hari kemudian saya sudah ada di Jeneponto, pertemuan yang sangat singkat, lebih lama di perjalanan. Pertemuan singkat namun pembahasan yang berkualitas. Disana saya bertemu dengan keluarga besar sang ibu. Berasa jadi artis, disapa mulai dari turun dari mobil, sampai masuk lagi kemobil. Drama tangis memenuhi pertemuan itu, namun saya berusaha keras agar tidak menangis. Saya berhasil. Tangis itu baru tumpah disepanjang perjalanan pulang. Saya tak bisa lagi menahannya. Tangis yang mengalir, seiring dengan keyakinan yang semakin kuat. InsyaaAllah betul-betul dia orangnya. Rasa yang telah dikubur dalam-dalam itu, perlahan merayap keluar lantaran keraguan yang menjadi hijabnya telah tersingkap seiring proses yang tengah berlangsung ini.
Keesokan harinya, ayahnya menelfon dan menanyakan proses selanjutnya dan disepakati khitbah akan dilakukan pekan depan. Yaa Allah, saat-saat itu makin dekat. Malam-malam menuju hari khitbah menjadi malam panjang dan masih dipenuhi drama air mata. Kolaborasi air mata makhluk lemah yang merayu rayu penciptanya agar diberi petunjuk, kekuatan dan keberkahan disetiap prosesnya dan air mata bahagia lantaran kagum akan skenarioNya. MasyaaAllah indah caraNya memisahkan kami dan dengan kuasaNya akan menyatukan kami lagi dalam waktu dekat.
Sepekan seakan berlalu begitu cepat. Hari itupun tiba. Sedari pagi saya sudah tidak konsen melakukan apapun. Mulai terasa dag dig dugnya. Hari itu hari jumat. Hari jumat kesekian yang begitu mendebarkan, setelah 3 jumat penting dalam dunia akademikku (ujian proposal, ujian hasil dan ujian skripsi). Namun, ini adalah jumat TER-mendebarkan. Mulut tak berhenti komat kamit melantunkan dzikir agar hati ini lebih tenang, tapi sepertinya tidak begitu ngefek. Asli, saya deg deg-an. Dan saya tidak bisa menjelaskan rasanya.
Saya coba memainkan hp dan berusaha berbagi debar yang sedang saya rasakan, sekalian minta didoakan agar dilancarkan. Sontak sahabat-sahabat saya kaget. Saya memang belum cerita kalau waktu khitbahnya hari ini. Merekapun mengira kalau saya hanya bercanda kalau sedang ta’aruf. Wajar saja karena saya memang jawabnya bercanda kalau mereka tanya hehehe.
Rombongan dari Jenepontopun tiba dirumah sehabis sholat jumat. Debar makin menjadi, namun setidaknya kolaborasi dzikir dan “berbagi debar” bisa sedikit membantu. Samar-samar kudengar pembahasan dari dalam kamar. Sepertinya saya tidak mendengar suaranya. Ternyata dia memang tidak ikut. Begitu adatnya, katanya. Sejam kemudian saya resmi dikhitbah oleh sang pemilik nama lucu itu, olehmu, melalui perwakilan keluargamu.
Sebulan kemudian, tahap adat selanjutnya berlangsung, “kasi naik uang”. Tahap ini mempertemukan keluarga besar saya dan keluarganya yang berkesempatan hadir. Deg degan masih terasa diproses ini, walau tak se-deg-degan sebelumnya. Finally, disepakati waktu akad 05-05-2018. Dan itu artinya sebulan lagi. Yaa Allah, semakin dekat perubahan status itu.
Hari-hari menuju satu bulan itu, adalah hari-hari paling tak terjelaskan rasanya. Makin hari tidur makin tak nyenyak. Gagal fokus hampir tiap hari. Yaa ampun, apalah saya ini. Apakah itu normal? Apa itu dirasakan oleh semua catin? Berbagi cerita dengan teman SD yang juga catin menjawab pertanyaan itu Wkwkwk. Harap-harap cemas, semoga semuanya dilancarkan. Kadang saya merasa waktu merangkak begitu lambat, kadang juga saya merasa waktu berlari begitu cepat. Sungguh hari-hari yang dipenuhi rasa nano-nano.
Lima Mei Dua Ribu Delapan Belas. Akhirnya hari itu tiba. Pagi itu saya bahagia sekali melihat rumah ramai, keluarga berkumpul semua. Sahabat-sahabat, kakak, adik berdatangan. Saya terharu melihat perjuang mereka untuk hadir melengkapi kebahagian sahabatnya ini. Terima kasih yah sayang-sayangku. Merekalah yang mendampingiku dalam prosesi perubahan gelar itu. Saya mencoba tenang dan tetap melantunkan dzikrullah berharap debar ini mereda dan prosesi akad dapat berjalan lancar.
SAH. Terdengar sayup-sayup dari lantai satu. Disusul celetuk beberapa dari mereka, “sah mi, sah mi”. Yaa Allah, debar ini makin menjadi. Resmilah saya menyandang gelar sebagai istrimu, istri seorang Muh. Rivai Lagu. Tak lamapun kau hadir dihadapanku. Hadir bukan lagi sebagai teman kerja tapi sebagai sosok yang akan menaungiku sampai akhir hayatku. Bergetar hati dan tangan ini saat untuk pertama kalinya menyentuh dan menjabat tanganmu. Ada aliran rasa menenangkan sampai ke lubuk hati terdalam saat kau letakkan jemarimu di ubun-ubunku. Lagi, ada kebahagiaan yang tak terjelaskan. Sembari terus kuulang-ulang doa agar kita senantiasa dilingkupi keberkahanNya.
Terima kasih untuk setiap ikhtiar yang terus engkau semogakan agar diridhoiNya. Terima kasih untuk setiap tahap yang kau jaga agar sesuai dengan tuntunanNya. Terima kasih untuk setiap pengorbanan dalam pembuktian rasa itu. Terima kasih dg. Laguku. Saya mencintaimu karena Allah. Tolong jaga dan pupuk rasa itu. InsyaaAllah sayapun akan terus berusaha memelihara rasa yang engkau perjuangkan dengan sangat tidak mudah. Tak perlu waktu lama untuk mengenalmu. Karena yang saya tahu, Tuhanku tidak akan salah dalam memilihkan imam untukku. Saya pernah bilang dalam surat untuk calon imam yang saya titipkan padaNya, bahwa saya tidak butuh orang yang sempurna, saya hanya ingin seorang pembelajar dan pembenah sejati, dan insyaaAllah itu, kamu. Dan memang Dia Maha Baik, Dia memberikanmu untuk saya, dan walau baru seumur jagung pernikahan kita, semakin hari saya semakin merasa, apa yang saya mau, baik yang terucap maupun hanya terlintas dihati, semua ada padamu. MasyaaAllah. Sungguh besar kuasaNya.
Terima kasih yaa Rabb, terima kasih telah memilihkannya untukku.
Terima kasih sayang, terima kasih telah memilihku.
Mari kita perbaiki niat untuk mengaarungi bahtera ini karenaNya dan untuk mencapai ridhoNya.
InsyaaAllah sakinah mawaddah wa rohmah.
Makassar, 1 Ramadhan 1439H
Semoga sampai jannahnya
BalasHapus